Selasa, 18 Juni 2013

TAUBATKU BELUM TERLAMBAT


“Tok tok tok dug dug”, suara bedug bertanda waktunya shalat maghrib telah tedengar. Saat itu adalah bulan Ramadhan, yang berarti suara bedug tersebut juga mengisyaratkan umat muslim untuk berbuka puasa. Jalanan terlihat sepi, cahaya lampu jalan terlihat remang seakan telah ikut berpuasa seharian. Sudut-sudut gang yang biasanya ramai saat itu nampak sunyi senyap. Tak seorangpun terlihat melakukan aktivitas di luar rumah. Jangankan lalu lalang kendaraan bermotor, barisan semutpun tidak terlihat.
Tentu saja saat itu seluruh masyarakat desa tengah merayakan kemenangan mereka yang telah mampu menahan lapar dan hawa nafsu seharian.
Semua orang pastinya sedang berbuka puasa di rumahnya. Namun tidak denganku, ya aku memang tidak pernah berpuasa. Makan banyak saja badanku masih kurus apalagi jika berpuasa pikirku.
Tak lama kemudian suara adzan dikumandangkan. Mulai terlihat kaum muslim berjalan menuju Masjid menggunakan mukena dan baju koko yang terlihat begitu kuno di mataku. Aku memang begitu alergi dengan yang namanya agama. Jangankan untuk salat, mendengaar adzan saja telingaku terasa panas, enakan juga lagu-lagu pop pikirku. Ya aku memang sangat suka dengan lagu-lagu pop. Andai saja adzan di ganti dengan lagunya nineball “hingga akhir waktu” mungkin aku akan sering ke masjid.
Hanya di temani Atong, sahabatku yang selalu menemaniku nongkrong, aku duduk-duduk di pojok gang sambil menenggak minuman keras yang telah kubeli sore hari. Atong kini  tidak memiliki keluarga semenjak  kejadian kebakaran dua tahun silam yang menewaskan seluruh keluarganya. Setelah peristiwa itu Atong menjadi pribadi yang ugal-ugalan dan tak terkontrol. Perilakunya berubah total dan cenderung berperilaku ke arah negatif karena dia berpikir hidupnya sudah tidak berguna lagi.
Tidak seperti Atong, aku sedikit beruntung karena kedua orang tuaku masih hidup sehat bahkan keluargaku sejahtera. Latar belakang keluargaku yang serba kecukupan iniah yang membuatku berpikiran buat apa susah-susah bekerja kalau kita minta sama orang tua saja dikasih. Orang tuaku tinggal di kota dan telah memiliki banyak perusahaan besar. Karena kesibukannya, orang tuaku menitipkan aku kepada nenekku di kampung semenjak kecil hingga kini usiaku sudah 25 tahun.
Mukaku yang cukup tampan dan materi  yang melimpah memudahkanku untuk bergonta-ganti pacar. Dina, Dita, Andin, Rini dan Felly serta masih banyak gadis desa lainya pernah ku pacari. Playboy cap kampung adalah julukan orang-orang desa kepadaku. Seperti biasa, aku tak perduli dengan omongan mereka. Toh mereka bukan ayah atau ibuku yang akan memotong uang jajanku kalau aku tak menghiraukan omongannya.
Waktunya salat isya telah tiba, semua orang berlalu lalang menyibukkan diri untuk pergi ke masjid guna melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim dan Dilanjutkan dengan shalat sunah  tarawih pastinya. Namun tetap saja aku duduk manis menyanyikan lagu-lagu dengan di iringi genjrengan gitar yang belum lama kubeli itu, sambil sesekali aku menenggak minuman keras tadi.
Selesai salat tarawih, orang-orang berbondong-bondong pulang lewat didepanku. Karena sudah biasa melihat dan mungkin sudah bosan menegurku, mereka berjalan  cuek seolah-olah  tidak melihatku. Mereka berjalan tanpa mengomentari apa yang tengah kulakukan.
Tak lama setelahnya, datang sesosok wanita menggunakan jilbab merah menghampiriku. Parasnya sangat cantik, putih, dan senyumnya menyejukkan hati. Meski tak terlalu tinggi, namun dia sangat imut dan yang pasti dia tidak gendut. “mengapa anda melakukan perbuatan seperti ini di bulan yang penuh berkan ini”  katanya menegurku. “ketahuilah, bulan ramadan adalah bulan ampunan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat” sambungnya  lagi. “diam dan tidak usah banyak ceramah,  pulanglah  kerumah dan selesaikan urusanmu sendiri jangan ikut campur urusan orang lain” cetusku menghentikan ceramahnya. “kamu itu siapa berani menegurku, kamu belum tau siapa aku?” sambungku melengkapi. “tak perlu aku jawab siapa aku dan aku tak perlu tau siapa kamu, yang pasti tolong jangan di ulangi perbuatan ini” sambung wanita itu.
Wanita itu kemudian melanjutkan perjalanannya pulang sambil menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali seakan tidak percaya masih ada pemuda desa yang berkelakuan sepertiku. Tak perduli dengan omongannya, aku tetap melanjutkan aktivitasku tadi. Lelah dengan aktivitas yang monoton, aku dan Atong tertidur di tempat tongkronganku tadi hingga suara orang ronda membangunkan kami. Kemudian aku dan Atong kembali kerumah masing-masing.
Malam kini telah berganti siang, bulan dan bintang telah hilang berganti matahari. Cuaca yang panas membuatku malas untuk keluar rumah. Entah apa yang terjadi, pada siang itu aku tiba-tiba teringat kepada wanita yang kemarin malam menegurku. Rasa Penasaran kini tumbuh dalam benakku. “sebenarnya siapa wanita itu” tanyaku dalam hati.
Dengan semangat keingintahuanku, aku bertanya kepada para tetangga tentang wanita tersebut. Panas yang tadi sempat membuatku malas keluar rumah, kini terasa sejuk di badan. Keringat yang bercucuran karena harus berjalan keliling desapun tak begitu berarti. Yang ada dipikiranku hanyalah mencari tahu siapa sesosok wanita yang begitu berani menegurku.
Lama ku mencari, akhirnya aku mendapat jawaban jelas dari teman kecilku Dewi. Ternyata dia adalah anak pak Haji yang merupakan orang paling di hormati di desa kami. Namanya Anisa, sungguh nama yang indah sesuai dengan paraasnya. Dia baru saja mendapatkan gelar sarjana ekonomi di perguruan tinggi ternama di kota Bandung. Anisa adalah mahasiswa dengan gelar IPK terbaik di angkatannya. Sungguh sempurna, selain cantik, kaya, dia juga pintar.
Bermaksud untuk bisa melihatnya kembali, aku sengaja duduk-duduk di tempat nongkrongku. Seperti hari-hari sebelunya, hari itupun aku tidak berpuasa. Aku duduk santai sambil menikmati segarnya es kelapa muda. Hari itu aku tidak mabuk dan memang tidak bersemangat untuk mabuk.
Disela-sela menikmati segarnya es kelapa tersebut, Anisa lewat di depanku. “astahiffrullahaladzim” ucapnya sambil mengelus daa. “eh ada Anisa” sahutku dengan gugup. “kamu itu apa tidak malu?, anak kecil saja sudah pada bisa berpuasa” sambungnya lagi. Dengan nada malu-malu aku menjawab “bukan aku tidak bisa puasa, namun aku memang tidak mau untuk berpuasa”. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhku. Tidak ingin lebih malu lagi akupun langsung bergegas pulang kerumah. Tidak seperti biasanya, kali ini aku begitu gugup berhadapan dengan wanita. Baru kali ini jiwa playboyku tak terlihat di depan wanita. Bahkan ketampananku terasa tak berarti dihadapannya.
Rasa penasaranku semakin besar saja. Tidak tahu apa yang tengah kurasakan, yang pasti semenjak perjumpaan pertama kali dengan Anisa, aku selalu memikirkannya. Tidurku selalu tak lelap, makanpun tak terasa enak. Dimanapun, kapanpun, bahkan dengan siapapun aku selalu memikirkannya. Mungkin inilah yang dinamakan cinta. Meskipun aku sering ganti pasangan, namun aku tak pernah merasakan yang seperti ini. Asal kalian tahu, selama ini aku berpacaran bukanlah karena rasa cinta, namun lebih ke nafsu dan gengsi.
Melawan rasa malu dan rasa gengsi, Kali ini aku mencoba memberanikan diri untuk berbicara tentang perasaanku dengan Anisa. Aku sengaja menunggunya di tempat biasa aku nongkrong berharap dia kembali pulang lewat jalan itu. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kali ini aku nongkrong sendirian karena pagi ini Atong pergi kerumah saudaranya di luar kota dan berencana menetep di sana. Tentu saja hari-hariku akan terasa lebih membosankan tanpa adanya Atong pikirku.
Dugaanku benar-benar tepat. Tak sia-sia aku menunggu lama, karena akhirnya Anisa lewat depanku  juga. Namun ini memang bukan hari keberuntunganku. Anisa pulang shalat tarawih tidak sendirian, namun dengan ayahnya. Alhasil akupun gagal untuk berbicara dengannya. “Tak apalah, setidaknya aku sudah bisa melihatnya lagi” ucapku dalam hati.
Tak ingin di permalukan oleh Anisa dan ingin menunjukkan kalau aku juga bisa, keesokan harinya aku mencoba berpuasa. Walaupun tidak sempat sahur karena bangun kesiangan, aku tetap berusaha menahan lapar sekuat mungkin. Namun apa daya, tenagaku hanya mampu menahannya sampai adzan dzuhur. “aku baru belajar, wajar saja kalau aku belum bisa puasa penuh satu hari. Lagian aku kan tidak sahur” cetusku memberi semangat pada diri sendiri.
Hari berikutnya akupun mencoba kembali berpuasa. Dan tentu saja kali ini aku lebih banyak persiapan. Aku bangun jam tiga pagi untuk makan sahur. Hari ini aku sungguh beruntung, cuaca tak begitu panas sehingga tak begitu terasa haus di tenggorokan. Walaupun setengah hari kulalui dengan tidur, akhirnya aku mampu berpuasa untuk yang pertama kalinya dalam hidupku.
Saat adzan maghrib di kumandangkan, aku langsung berlari ke ruang makan dan memakan semua masakan nenek. Puas rasanya  bisa menunjukkan kepada Anisa kalau aku juga bisa berpuasa seperti anak lainnya. Namun kesialan masih menimpaku. Karena terlalu bernafsu untuk makan, perutku terasa sakit dan tidak bisa keluar rumah untuk bicara kepada Anisa kalau aku sudah bisa berpuasa sehingga dia tidak bisa meremehkannya lagi. Sejak hari itu aku selalu berpuasa dan sudah tidak lagi meminum minuman keras. Saat itulah aku benar-benar taubat. Aku semakin dekat dengan Allah S.W.T . Hari-hariku kini di lalui dengan hal-hal yang positif.
Bulan ramadhan tinggal sisa dua hari lagi, setelah itu umat muslim akan merayakan hari Idul Fitri yang merupakan hari kemenangan umat muslim. Seperti yang lainnya, aku mempersiapkan segala sesuatunya sejak dini. Aku menghubungi kedua orang tuaku di kota agar pulang dan merayakannya bersama di rumah. Sempat kaget dengan perubahanku, namun akhirnya ayah dan ibu mau menuruti kemauanku ini. Aku menceritakan semua yang telah terjadi kepadaku dan aku bercerita tentang perasaan yang ku alami. “aku jatuh cinta kepada Anisa, anak pak haji itu loh bu” kataku di sambut senyum dari ibu dan ayah.
Sudah bebarapa hari ini, aku tidak melihat Anisa. Akupun belum sempat memberitahunya tentang perubahan yang kualami. Dan yang pasti aku juga belum sempat mengucapkan kalimat kalau aku suka padanya. Rasa rindupun kini mulai menyelimutiku, entah apa yang salah denganku hingga aku merindukannya. Padahal dia bukanlah siapa-siapaku. Untuk mengurangi rasa penasaranku, akupun memberanikan diri datang kerumahnya.
Rumahnya yang sangat sejuk terlihat sepi. Disana Hanya seorang penjaga rumah yang kutemui. “maaf pak, apa Anisanya ada di rumah?” tanyaku pada penjaga rumah Laela yang kira-kira berumur lima puluh tahunan itu. “oh non Anisa dan keluarganya sedang pergi ke Bandung dek, sedang mengadakan perpisahan di sekolahnya non Anisa” jawabnya dengan sopan. “oh ya sudah kalau begitu pak. Lain waktu saja saya kesinii lagi.” sahutku menanggapi jawaban penjaga rumah tersebut. Lantas akupun pergi meninggalkan rumah Anisa.
Lebaran telah tiba, suara takbir terdengar merdu di telinga. Suara petasan menambah meriah hari nan fitri itu. Opor ayam telah tersedia di ruang makan. Rasanya sungguh seperti di syurga. Semua orang bersilaturrahmi satu sama lain. Tidak jarang tetangga-tetanggaku juga berkunjung kerumahku yang besar ini. Sungguh suasana yang baru pernah kurasakan. Dari dulu memang tidak ada tetangga yang bersilaturrahmi ke rumahku. Jangankan bersilaturrahmi, melirik kerumahku aja mereka merasa hina karena perlakuanku dulu. Kini semua telah berbeda. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Kini semua orang mampu menerimaku dan mulai menghargaiku. Namun tetap saja aku belum merasa puas karena seseorang yang sedang kutunggu belum kelihatan. Ya aku sedang menunggu Anisa, seorang wanita yang mampu merubah hidupku. Aku selalu berdoa kepada Allah supaya cepat dipertemukan dengan Anisa.
Hari kedua lebaran aku mendapat kabar dari Dewi kalau keluarga Anisa sudah pulang. Berniat menemui Anisa di rumahnya akupun bergegas dan memakai baju layaknya anak soleh lainnya. Namun sesuatu yang tak kuduga terjadi. Anisa dan  keluarganya sudah berada di depan rumahku. Mereka bersilaturrahmi kerumahku. Kini aku tak malu untuk bertemu dengan Anisa, bahkan dengan ayah dan ibunya.
Di tengah-tengah asiknya mengobrol, Aku dikejutkan ketika ayah bilang mau melamar Anisa untukku. Dengan perasaan senang bercampur malu, aku senyum-senyum sendiri. Dan lebih membahagiakan lagi ketika ayah Anisa memberi jawaban iya atas persetujuan Anisa. Sungguh indah benar hari itu. Hari yang tidak akan terlupakan olehku.
Kini aku merasa hidup lebih baik, lebih indah dari sebelumnya. Inilah JALANKU MENEMUKAN-MU. Jalan yang benar untuk kembali kepada-mu. Kembali ke jalan lurus yang engkau ridhoi. Yang terpenting bagiku bukanlah karena aku telah memiliki Anisa, melainkan Allah telah menunjukkan jalan untukku kembali padanya. Ya memang jalan itu melalui Anisaa. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Setiap hari aku mengikuti pengajian yang diadakan rutin di masjid terdekat dengan rumahku. Dan kini aku semakin sadar akan indahnya Islam. Beruntung bagiku karena TAUBATKU BELUM TERLAMBAT.
by : Anggih Eko Prasetiyo

0 komentar:

Posting Komentar