“Tok
tok tok dug dug”, suara bedug bertanda waktunya shalat maghrib telah tedengar.
Saat itu adalah bulan Ramadhan, yang berarti suara bedug tersebut juga
mengisyaratkan umat muslim untuk berbuka puasa. Jalanan terlihat sepi, cahaya
lampu jalan terlihat remang seakan telah ikut berpuasa seharian. Sudut-sudut
gang yang biasanya ramai saat itu nampak sunyi senyap. Tak seorangpun terlihat
melakukan aktivitas di luar rumah. Jangankan lalu lalang kendaraan bermotor,
barisan semutpun tidak terlihat.
Tentu
saja saat itu seluruh masyarakat desa tengah merayakan kemenangan mereka yang
telah mampu menahan lapar dan hawa nafsu seharian.
Semua orang pastinya sedang berbuka puasa di rumahnya. Namun tidak denganku, ya aku memang tidak pernah berpuasa. Makan banyak saja badanku masih kurus apalagi jika berpuasa pikirku.
Semua orang pastinya sedang berbuka puasa di rumahnya. Namun tidak denganku, ya aku memang tidak pernah berpuasa. Makan banyak saja badanku masih kurus apalagi jika berpuasa pikirku.
Tak
lama kemudian suara adzan dikumandangkan. Mulai terlihat kaum muslim berjalan
menuju Masjid menggunakan mukena dan baju koko yang terlihat begitu kuno di
mataku. Aku memang begitu alergi dengan yang namanya agama. Jangankan untuk salat,
mendengaar adzan saja telingaku terasa panas, enakan juga lagu-lagu pop
pikirku. Ya aku memang sangat suka dengan lagu-lagu pop. Andai saja adzan di
ganti dengan lagunya nineball “hingga akhir waktu” mungkin aku akan sering ke masjid.
Hanya
di temani Atong, sahabatku yang selalu menemaniku nongkrong, aku duduk-duduk di
pojok gang sambil menenggak minuman keras yang telah kubeli sore hari. Atong
kini tidak memiliki keluarga
semenjak kejadian kebakaran dua tahun
silam yang menewaskan seluruh keluarganya. Setelah peristiwa itu Atong menjadi
pribadi yang ugal-ugalan dan tak terkontrol. Perilakunya berubah total dan
cenderung berperilaku ke arah negatif karena dia berpikir hidupnya sudah tidak
berguna lagi.
Tidak
seperti Atong, aku sedikit beruntung karena kedua orang tuaku masih hidup sehat
bahkan keluargaku sejahtera. Latar belakang keluargaku yang serba kecukupan
iniah yang membuatku berpikiran buat apa susah-susah bekerja kalau kita minta
sama orang tua saja dikasih. Orang tuaku tinggal di kota dan telah memiliki
banyak perusahaan besar. Karena kesibukannya, orang tuaku menitipkan aku kepada
nenekku di kampung semenjak kecil hingga kini usiaku sudah 25 tahun.
Mukaku
yang cukup tampan dan materi yang
melimpah memudahkanku untuk bergonta-ganti pacar. Dina, Dita, Andin, Rini dan
Felly serta masih banyak gadis desa lainya pernah ku pacari. Playboy cap
kampung adalah julukan orang-orang desa kepadaku. Seperti biasa, aku tak
perduli dengan omongan mereka. Toh mereka bukan ayah atau ibuku yang akan
memotong uang jajanku kalau aku tak menghiraukan omongannya.
Waktunya
salat isya telah tiba, semua orang berlalu lalang menyibukkan diri untuk pergi
ke masjid guna melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim dan Dilanjutkan
dengan shalat sunah tarawih pastinya.
Namun tetap saja aku duduk manis menyanyikan lagu-lagu dengan di iringi
genjrengan gitar yang belum lama kubeli itu, sambil sesekali aku menenggak
minuman keras tadi.
Selesai
salat tarawih, orang-orang berbondong-bondong pulang lewat didepanku. Karena
sudah biasa melihat dan mungkin sudah bosan menegurku, mereka berjalan cuek seolah-olah tidak melihatku. Mereka berjalan tanpa
mengomentari apa yang tengah kulakukan.
Tak
lama setelahnya, datang sesosok wanita menggunakan jilbab merah menghampiriku. Parasnya
sangat cantik, putih, dan senyumnya menyejukkan hati. Meski tak terlalu tinggi,
namun dia sangat imut dan yang pasti dia tidak gendut. “mengapa anda melakukan
perbuatan seperti ini di bulan yang penuh berkan ini” katanya menegurku. “ketahuilah, bulan ramadan
adalah bulan ampunan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat” sambungnya lagi. “diam dan tidak usah banyak
ceramah, pulanglah kerumah dan selesaikan urusanmu sendiri
jangan ikut campur urusan orang lain” cetusku menghentikan ceramahnya. “kamu
itu siapa berani menegurku, kamu belum tau siapa aku?” sambungku melengkapi.
“tak perlu aku jawab siapa aku dan aku tak perlu tau siapa kamu, yang pasti
tolong jangan di ulangi perbuatan ini” sambung wanita itu.
Wanita
itu kemudian melanjutkan perjalanannya pulang sambil menggeleng-gelengkan
kepala beberapa kali seakan tidak percaya masih ada pemuda desa yang
berkelakuan sepertiku. Tak perduli dengan omongannya, aku tetap melanjutkan
aktivitasku tadi. Lelah dengan aktivitas yang monoton, aku dan Atong tertidur
di tempat tongkronganku tadi hingga suara orang ronda membangunkan kami.
Kemudian aku dan Atong kembali kerumah masing-masing.
Malam
kini telah berganti siang, bulan dan bintang telah hilang berganti matahari.
Cuaca yang panas membuatku malas untuk keluar rumah. Entah apa yang terjadi,
pada siang itu aku tiba-tiba teringat kepada wanita yang kemarin malam
menegurku. Rasa Penasaran kini tumbuh dalam benakku. “sebenarnya siapa wanita
itu” tanyaku dalam hati.
Dengan
semangat keingintahuanku, aku bertanya kepada para tetangga tentang wanita
tersebut. Panas yang tadi sempat membuatku malas keluar rumah, kini terasa
sejuk di badan. Keringat yang bercucuran karena harus berjalan keliling desapun
tak begitu berarti. Yang ada dipikiranku hanyalah mencari tahu siapa sesosok
wanita yang begitu berani menegurku.
Lama
ku mencari, akhirnya aku mendapat jawaban jelas dari teman kecilku Dewi.
Ternyata dia adalah anak pak Haji yang merupakan orang paling di hormati di
desa kami. Namanya Anisa, sungguh nama yang indah sesuai dengan paraasnya. Dia
baru saja mendapatkan gelar sarjana ekonomi di perguruan tinggi ternama di kota
Bandung. Anisa adalah mahasiswa dengan gelar IPK terbaik di angkatannya.
Sungguh sempurna, selain cantik, kaya, dia juga pintar.
Bermaksud
untuk bisa melihatnya kembali, aku sengaja duduk-duduk di tempat nongkrongku.
Seperti hari-hari sebelunya, hari itupun aku tidak berpuasa. Aku duduk santai
sambil menikmati segarnya es kelapa muda. Hari itu aku tidak mabuk dan memang
tidak bersemangat untuk mabuk.
Disela-sela
menikmati segarnya es kelapa tersebut, Anisa lewat di depanku.
“astahiffrullahaladzim” ucapnya sambil mengelus daa. “eh ada Anisa” sahutku
dengan gugup. “kamu itu apa tidak malu?, anak kecil saja sudah pada bisa
berpuasa” sambungnya lagi. Dengan nada malu-malu aku menjawab “bukan aku tidak
bisa puasa, namun aku memang tidak mau untuk berpuasa”. Keringat dingin
bercucuran di sekujur tubuhku. Tidak ingin lebih malu lagi akupun langsung
bergegas pulang kerumah. Tidak seperti biasanya, kali ini aku begitu gugup
berhadapan dengan wanita. Baru kali ini jiwa playboyku tak terlihat di depan
wanita. Bahkan ketampananku terasa tak berarti dihadapannya.
Rasa
penasaranku semakin besar saja. Tidak tahu apa yang tengah kurasakan, yang
pasti semenjak perjumpaan pertama kali dengan Anisa, aku selalu memikirkannya.
Tidurku selalu tak lelap, makanpun tak terasa enak. Dimanapun, kapanpun, bahkan
dengan siapapun aku selalu memikirkannya. Mungkin inilah yang dinamakan cinta.
Meskipun aku sering ganti pasangan, namun aku tak pernah merasakan yang seperti
ini. Asal kalian tahu, selama ini aku berpacaran bukanlah karena rasa cinta,
namun lebih ke nafsu dan gengsi.
Melawan
rasa malu dan rasa gengsi, Kali ini aku mencoba memberanikan diri untuk
berbicara tentang perasaanku dengan Anisa. Aku sengaja menunggunya di tempat
biasa aku nongkrong berharap dia kembali pulang lewat jalan itu. Berbeda dengan
malam-malam sebelumnya, kali ini aku nongkrong sendirian karena pagi ini Atong
pergi kerumah saudaranya di luar kota dan berencana menetep di sana. Tentu saja
hari-hariku akan terasa lebih membosankan tanpa adanya Atong pikirku.
Dugaanku
benar-benar tepat. Tak sia-sia aku menunggu lama, karena akhirnya Anisa lewat
depanku juga. Namun ini memang bukan
hari keberuntunganku. Anisa pulang shalat tarawih tidak sendirian, namun dengan
ayahnya. Alhasil akupun gagal untuk berbicara dengannya. “Tak apalah,
setidaknya aku sudah bisa melihatnya lagi” ucapku dalam hati.
Tak
ingin di permalukan oleh Anisa dan ingin menunjukkan kalau aku juga bisa,
keesokan harinya aku mencoba berpuasa. Walaupun tidak sempat sahur karena
bangun kesiangan, aku tetap berusaha menahan lapar sekuat mungkin. Namun apa
daya, tenagaku hanya mampu menahannya sampai adzan dzuhur. “aku baru belajar,
wajar saja kalau aku belum bisa puasa penuh satu hari. Lagian aku kan tidak
sahur” cetusku memberi semangat pada diri sendiri.
Hari
berikutnya akupun mencoba kembali berpuasa. Dan tentu saja kali ini aku lebih
banyak persiapan. Aku bangun jam tiga pagi untuk makan sahur. Hari ini aku
sungguh beruntung, cuaca tak begitu panas sehingga tak begitu terasa haus di
tenggorokan. Walaupun setengah hari kulalui dengan tidur, akhirnya aku mampu
berpuasa untuk yang pertama kalinya dalam hidupku.
Saat
adzan maghrib di kumandangkan, aku langsung berlari ke ruang makan dan memakan
semua masakan nenek. Puas rasanya bisa
menunjukkan kepada Anisa kalau aku juga bisa berpuasa seperti anak lainnya.
Namun kesialan masih menimpaku. Karena terlalu bernafsu untuk makan, perutku
terasa sakit dan tidak bisa keluar rumah untuk bicara kepada Anisa kalau aku
sudah bisa berpuasa sehingga dia tidak bisa meremehkannya lagi. Sejak hari itu
aku selalu berpuasa dan sudah tidak lagi meminum minuman keras. Saat itulah aku
benar-benar taubat. Aku semakin dekat dengan Allah S.W.T . Hari-hariku kini di
lalui dengan hal-hal yang positif.
Bulan
ramadhan tinggal sisa dua hari lagi, setelah itu umat muslim akan merayakan
hari Idul Fitri yang merupakan hari kemenangan umat muslim. Seperti yang
lainnya, aku mempersiapkan segala sesuatunya sejak dini. Aku menghubungi kedua
orang tuaku di kota agar pulang dan merayakannya bersama di rumah. Sempat kaget
dengan perubahanku, namun akhirnya ayah dan ibu mau menuruti kemauanku ini. Aku
menceritakan semua yang telah terjadi kepadaku dan aku bercerita tentang
perasaan yang ku alami. “aku jatuh cinta kepada Anisa, anak pak haji itu loh
bu” kataku di sambut senyum dari ibu dan ayah.
Sudah
bebarapa hari ini, aku tidak melihat Anisa. Akupun belum sempat memberitahunya
tentang perubahan yang kualami. Dan yang pasti aku juga belum sempat
mengucapkan kalimat kalau aku suka padanya. Rasa rindupun kini mulai
menyelimutiku, entah apa yang salah denganku hingga aku merindukannya. Padahal
dia bukanlah siapa-siapaku. Untuk mengurangi rasa penasaranku, akupun
memberanikan diri datang kerumahnya.
Rumahnya
yang sangat sejuk terlihat sepi. Disana Hanya seorang penjaga rumah yang
kutemui. “maaf pak, apa Anisanya ada di rumah?” tanyaku pada penjaga rumah
Laela yang kira-kira berumur lima puluh tahunan itu. “oh non Anisa dan
keluarganya sedang pergi ke Bandung dek, sedang mengadakan perpisahan di
sekolahnya non Anisa” jawabnya dengan sopan. “oh ya sudah kalau begitu pak.
Lain waktu saja saya kesinii lagi.” sahutku menanggapi jawaban penjaga rumah
tersebut. Lantas akupun pergi meninggalkan rumah Anisa.
Lebaran
telah tiba, suara takbir terdengar merdu di telinga. Suara petasan menambah
meriah hari nan fitri itu. Opor ayam telah tersedia di ruang makan. Rasanya
sungguh seperti di syurga. Semua orang bersilaturrahmi satu sama lain. Tidak
jarang tetangga-tetanggaku juga berkunjung kerumahku yang besar ini. Sungguh
suasana yang baru pernah kurasakan. Dari dulu memang tidak ada tetangga yang
bersilaturrahmi ke rumahku. Jangankan bersilaturrahmi, melirik kerumahku aja
mereka merasa hina karena perlakuanku dulu. Kini semua telah berbeda. Aku yang
dulu bukanlah yang sekarang. Kini semua orang mampu menerimaku dan mulai
menghargaiku. Namun tetap saja aku belum merasa puas karena seseorang yang
sedang kutunggu belum kelihatan. Ya aku sedang menunggu Anisa, seorang wanita
yang mampu merubah hidupku. Aku selalu berdoa kepada Allah supaya cepat
dipertemukan dengan Anisa.
Hari
kedua lebaran aku mendapat kabar dari Dewi kalau keluarga Anisa sudah pulang.
Berniat menemui Anisa di rumahnya akupun bergegas dan memakai baju layaknya
anak soleh lainnya. Namun sesuatu yang tak kuduga terjadi. Anisa dan keluarganya sudah berada di depan rumahku.
Mereka bersilaturrahmi kerumahku. Kini aku tak malu untuk bertemu dengan Anisa,
bahkan dengan ayah dan ibunya.
Di
tengah-tengah asiknya mengobrol, Aku dikejutkan ketika ayah bilang mau melamar
Anisa untukku. Dengan perasaan senang bercampur malu, aku senyum-senyum
sendiri. Dan lebih membahagiakan lagi ketika ayah Anisa memberi jawaban iya
atas persetujuan Anisa. Sungguh indah benar hari itu. Hari yang tidak akan terlupakan
olehku.
Kini
aku merasa hidup lebih baik, lebih indah dari sebelumnya. Inilah JALANKU MENEMUKAN-MU. Jalan yang benar
untuk kembali kepada-mu. Kembali ke jalan lurus yang engkau ridhoi. Yang
terpenting bagiku bukanlah karena aku telah memiliki Anisa, melainkan Allah
telah menunjukkan jalan untukku kembali padanya. Ya memang jalan itu melalui
Anisaa. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Setiap hari aku mengikuti pengajian
yang diadakan rutin di masjid terdekat dengan rumahku. Dan kini aku semakin sadar
akan indahnya Islam. Beruntung bagiku karena TAUBATKU BELUM TERLAMBAT.
by : Anggih Eko Prasetiyo
by : Anggih Eko Prasetiyo
0 komentar:
Posting Komentar